BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof sepanjang zaman
di seluruh dunia.
Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi sedimikian kuat, sehingga tiap
orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik sadar maupun tidak, langsung
ataupun tidak langsung.
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang
ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Berdasarkan kenyataan sejarah,
filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang
terlepas daripada pra kondisi yang menantang.
Klasifikasi
aliran-aliran filsafat pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori dan
praktek pendidikan yang menjadi ide pokok masing-masing filsafat tersebut. Demikian pula klasifikasi itu
sendiri akan berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam
menetapkan klasifikasi itu.
Pembagian Brameld dalam bukunya “Philosophies of Education in Cultural
Perspective” ialah aliran-aliran: (1) Essentialism; (2) Progressivism; (3)
Perennialism; (4) Reconstructionsme.
Pembagian atas keempat aliran utama tersebut secara garis besar dan masih engandung
adanya overlapping.
Aliran
– aliran filsafat pendidikan yang ada sampai sekarang, menunjukkan adanya
aspirasi kelompok manusia yang pada dasarnya menginginkan realisasi nilai-nilai
kemanusiaan ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hanya tekanan
masing-masing aliran mempunyai paham yang berbeda-beda pada aspek kehidupan
itu, yaitu cara pencapaian tujuannya melalui proses pendidikan, dan juga
pandangan dasar terhadap penekanan aspek kehidupan manusia dari segi idealnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang aliran progressivisme?
2. Bagaimana
pandangan ontologi, epistemologi, dan axiologi progressivisme?
3. Bagaimana
asas belajar menurut progressivisme?
4. Bagaimana
kurikulum progressivisme?
5. Bagaimana
penilaiaan kebudayaan atas progressivisme?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengatahui latar belakang aliran progressivisme.
2. Untuk
mengetahui pandangan ontologi, epistemologi, dan axiologi progressivisme.
3. Untuk
mengetahui asas belajar menurut progressivisme.
4. Untuk
mengetahui kurikulum progressivisme.
5.
Untuk mengetahui penilaian kebudayaan
atas progressivisme.
BAB
II PEMBAHASAN
ALIRAN PROGRESSIVISME
Progressivisme berkembang
dalam permulaan abad 20ini terutama di Amerika Serikat. Progressivisme lahir
sebagai pembaharuan dalam dunia (filsafat) pendidikan terutama sebagai lawan
terhadap kebijakan-kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad ke-19.
Pandangan-pandangan
progressivisme di anggap sebagai “the
liberal road to culture”. Dalam arti bahwa liberal di maksudkan sebagi
fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Dan liberal dalam arti lainnya ialah bahwa
pribadi-pribadi penganutnya tidak hanya memegang sikap seperti tersebut di
atas, melainkan juga selalu bersifat penjelajah, peneliti secara continue demi
pengembangan pengalaman. Meraka mempunyai jiwa dan semangat penyelidik yang
terbuka sikapnya, yang tidak mengenal selesai; memiliki kemampuan baik untuk
mendengarkan kritik, ide-ide lawan sambil member kesempatan kepada mereke itu
untuk membuktikan kebenaran ide mereka.
Progressivisme menganggap
pendidikan sebagai cultural transition. Ini berarti bahwa pendidikan di anggap
mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan
manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang. Pendidikan adalah
lembaga yang mampu membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan cultural dan tantangan-tantangan zaman, demi srvive-nya
manusia. Progressivisme juga percaya bahwa pendidikan dapat menolong manusia
dalam menghadapi periode transisi antara zaman tradisional yang sisa yang segera
berakhir, untuk setiap memesuki zaman yang progressif (modern) yang segera kita
masuki. Phase ini pun permulaan pula bagi priode revolusi menuju tata social,
teknologi dan moral yang supermodren.
Sebagai ciri utama lain
progressivisme adalah suatu filsafat transisi antara dua konfigurasi kebudayaan
yang besar. Progressivisme adalah rasionalisasi mayor daripada suatu
kebudayaan, yakni: (1) Perubahan yang cepat dari pola-pola kebudayaan barat
yang di warisi dan di capai dari masa silam, dan; (2) Perubahan yang cepat menuju pola-pola kebudayaan barat
yang sedang dalam proses pembinaan untuk masa depan.
A. Latar
Belakang Aliran Progressivisme
Pengertian
dasar yang menjadi ciri dari aliran ini adalah progres, yang berarti maju.
Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang
memperhatikan ke masa lalu. Aliran progressivisme memandang bahwa manusia
memiliki hak asasi yang bertumpu pada kebebasan mutlak (liberalisme) yang menuju ke arah kebudayaan (liberal road to culture) . aliran ini tidak mengaku suatu
kemutlakan kehidupan, sehingga nilai-nilai yang dipengangi bersifat fleksibel
terhadap perubahan, tidak rigid, dan tidak terikat pada suatu nilai tertentu,
toleran dan terbuka. (Arifin, 1987:183).
Ciri
utama aliran progressivisme ialah bahwa aliran ini memandang manusia sebagai
subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia yang lingkungan hidupnya yang
multi kompleks dengan keterampilan dan kekuatan sendiri.[1]
Latar belakang ide-ide
filsafat yunani, baik heraklitos maupun Socrates, bahwa juga Protagoras amat
mempengaruhi aliran ini. Heraklitos tentang perubahan “all reality is characterized by constant, than nothing is permanent
except the principle of change it self” (2 : 94) adalah menjadi asas
progressivisme.
Ide Socrates yang menyatukan
nilai ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip moral juga di anggap berpengaruh
atas progressivisme. Karena ilmu ini berarti kebaikan manusia tercapai, jadi
ilmu mempunyai nilai ethis, nilai bina kepribadian. Dan kepribadian ideal ialah
yang berilmu dalam arti demikian, sebab ilmu dan kebaikan pribadi adalah
identik. Kaum sophisme terutama Protagoras, yang menyatakan bawa kebenaran dan
nilai-nilai bersifat relative menurut waktu dan tempat; bahkan menurut subyek
(manusia), adalah peletakan pandangan progressivisme tentang nilai-nilai.
Filosof Francis Bacon telah
menanamkan asas metode experiment yang kemudian menjadi metode utama dalam
filsafat pendidikan progressivisme. Jhon Locke, tidak saja teorinya tentang
empirisme yang menekankan faktor luar yang amat dominan dalam pembinaan
kepribadian. Tapi juga teorinya tentang asas kemerdekaan, lebih-lebih yang di
laksanakan sebagai kemerdekaan politik yang menghormati hak asasi manusia
sebagai pribadi. Demikian pula Rousseau yang menyakini kebaikan kodrat-manusia,
yang menghormati kebaikan alamiah anak. Juga belum lengkap pengaruh yang
tertanam di dalam progressivisme tanpa adanya pengaruh Kant dan Hegel. Kant
peletak dasar atas “a liberal
glorification of the individual in the unassailable dignity of human personality”
(2 : 95), penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi.
Sedangkan Hegel peletak asas “the
dynamic, ever-readjusting processes of nature and society”(2 : 95),
dinamika, proses penyesuaian yang terus menerus oleh individu terhadap alam dan
masyarakat.
Akhirnya tokoh-tokoh pelopor
bangsa Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, Thomas Jefferson telah
mempengaruhi progressivisme dalam sikapnya yang menentang dogmatism, dan sikap
positif yang menjunjung hak asasi individu dan nilai-nilai demokrasi.
Di samping pengaruh tokoh-tokoh filsafat di atas, ada pula pengaruh
kebudayaan yang secara khusus di tulis oleh Brameld sebagai empat faktor kebudayaan yang
terpengaruh atas perkembangan progressivisme.
a.
Revolusi
Industri
Revolusi industry adalah istilah yang di pakai untuk suatu era dari
ekonomi modern yang merubah keadaan social polotik manusia. Era ini di tandai
dengan kemerosotan feodalisme dan timbulnya serta matangnya kapitalisme.
b.
Modern
Science
Ilmu pengetahuan modern berkembang sejalan dan erat hubungannya dengan
revolusi industry. Bahkan hubungan keduanya bersifat kausalitas, sebab-akibat.
Sebagai akibat (effect) sebab perkembangan science di dorong dan di topang oleh
kemajuan ekonomi; sebagai sebab, karena science adalah alat utama untuk membina
mesin/teknik untuk mengeksplorasi sumber-sumber alamiah. Science telah merubah
dan memajukan efisiensi, perluasan dan peningakatan produksi, penemuan system
ekonomi baru, administrasi dan sebagainya.
c.
Perkembangan
Demokrasi
Pengaruh demokrasi, seperti pengetahuan atas hak asasidan martabat
manusia, berarti memberi kemungkinan bagi perkembangan maksimal kepribadian
manusia. Demokrasi dan perkembangan ilmu pengetahuan saling
mempengaruhi, dan itu nyata setelah berakhirnya abad pertengahan dan di
mulainya zaman Renaissance.[2]
Sifat-sifat aliran progressivisme
Sifat-sifat umum aliran progressivisme
dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b)
sifat-sifat positif. Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa,
progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk,
seperti misalnya pendapat dalam agama, politik, etika dan epistimologi. Positif
dalam arti, bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan
alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam
sejak ia lahir- man’s natural powers.[3]
Progressivisme yakin bahwa manusia
mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam.
Akan tetapi di samping keyakinan-keyakinan ini ada juga kesangsian. Dapatkah
manusia menggunakan kecakapannya dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam, juga dalam
ilmu pengetahuan sosial? Dalam hubungannya dengan sesama manusia? Pragmatisme
(dan progressivisme) yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan itu, akan tetapi
apakah manusia dapat belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu dalam hal
ini, di sini timbul sedikit kesangsian. Tetapi, meskipun demikian
progressivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat menguasai
seluruh lingkungannya, lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Maka tugas pendidikan menurut
pragmatisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia
itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam bentuk pekerjaan praktis.
Yang dimaksud di sini ialah, bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide
atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya bepikir melulu untuk
kesenangan berpikir saja, manusia
hendaknya berpikir untuk berbuat. Pragmatisme menolak pure intellectualisme.[4]
Perkembangan aliran progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme
sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19,
akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada
zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates (469 – 399),
Protagoras (480 – 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat
dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang
disebut pragmatisme- progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang
terutama dari realita ialah perubahan. Socrates berusaha mempersatukan
epistimologi dengan axiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci
untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan
pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan
(perbuatan yang baik). Protagoras seorang sophis, mengajarkan bahwa
kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan
relatif, yaitu bergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles menyarankan
moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan.
Dalam asas modern – sejak abad ke-16. Francis
Bacon memberikan subangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus
metode experimentil (metode ilmiah dengan pengetahuan alam). Locke
dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa
kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari para
manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant
memuliakan manusia, meenjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi
martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa
alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak,
dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.[5]
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini
tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine
dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka
akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam
agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berpikir:
pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu
“bekerja”, yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Tokoh pragmatisme yang lebih
terkenal ialah William James dan John Dewey.
B. Pandangan
Ontologi, Progressivisme
Progressivisme
yang didukung pragmatisme, tidak mempunyai pendapat tentang realita umum.
Mereka tidak menggunakan istilah universe (alam semesta) dalam arti kosmos,
karena itu lebih menekankan prinsip estensi, tetapi memakai istilah dunia
karena menekankan prinsip-prinsip eksistensi (keberadaan, wujud). Adapun yang
dimaksud dunia dalam aliran ini adalah dunia dimana kita hidup, yang berarti
proses atau tata aturan di mana manusia hidup di dalamnya.[6]
Thesis aliran ini tentang
ontology, tentang hakekat eksistensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai
berikut :
1.
Asas
Hereby atau asas keduniawian
Realita semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe” berarti
eksistensi yang amat luas, tak terbatas. Tetapi realita kosmos yang demikian
sungguh-sungguh realita, bukan dalam arti yang di maksud oleh dokrin realita
mutlak. Sebab realita kosmos itu adalah kenyataan dalam mana kehidupan manusia
berada, berlangsung.
2.
Pengalaman
sebagai realita
Manusia
dalam ontology sesungguhnya memcari dan menghadapi secara langsung suatu
realita disini dan sekarang yakni sebagai lingkungan hidup. Menurut Dewey,
pengalaman adalah key-concept, kunci pengertian manusia atau segala sesuatu.
Pengalaman
manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kegilaan dan
kebodohan, halangan cinta dan sebagainya adalah realita dalam mana manusia
hidup sampai ia mati.
Asas
ontology-nya yang di dasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil yang
bersumber dalam teori
Evolusi. Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup sebenarnya adalah
tindakan-tindakan dan perubahan-perubahan.
Pengalaman
dalam arti di atas mengandung sifat-sifat sebagai berikut :
a.
Pengalaman
itu dinamis : hidup selalu dinamis, menuntut adaptasi dan readaptasi dalam
semua variasi perubahan yang terjadi terus-menerus. Realita itu menuntut
tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternative-alternatif.
b.
Pengalaman
itu temporal. Demikian pula pengalaman akan berubah, berbeda-beda dari hari,
tahun dan abad lampau di bandingkan dengan hari, tahun dan abad mendatang.
Pengalaman berlangsung di dalam waktu, berakhir atau berubah di dalam waktu.
c.
Pengalaman
itu spatial, terjadi di suatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia.
d.
Pengalaman
itu pluralistis.
Pengalaman itu terjadi seluas adanya antara hubungan dan antaraksi dalam
mana individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu,
menangkapnya dengan seluruh kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan
pancaindranya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis.
3.
Pikiran
(mind) sebagai fungsi manusia yang unik
Menurut progressivisme potensi inteligensi ini meliputi kemampuan
mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dam
memecahkan persoalan-persoalan serta berkomonikasi (social dan intelek) dengan
sesamanya. Mind adalah satu integritas di dalam kepribadian, bukan suatu entity
tersendiri. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam
tingkah laku. Mind ialah apa yang manusia lakuakan. Dan mind pada prinsipnya
adalah yang berperan di dalam pengalaman.[7]
C. Pandangan
Epistimologi Progressivisme
Progressivisme
membedakan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah timbunan
kesan-kesan yang berasal dari pengalaman dan penerangan yang terkumpul, yang
siap digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengatahui,
memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan untuk menimbulkan petunjuk
atau penyelesaiaan pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam hubungangan ini
kecerdasam merupakan faktor utama yang kedudukannya sentral. Kecerdasan adalah
faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan
lingkungan, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik, kebudayaan atau
manusia.[8]
1.
Pengetahuan
dan Kebenaran
Suatu ide yang dapat di
laksanakan adalah suatu ujian atau test atau kebenaran ide itu. Test ini ialah
untuk mengetahui kualitas kebenaran suatu ide dalam arti sampai di mana
ide itu berguna dan memenuhi
harapan untuk menyesuaikan diri dari tantangan yang ada.
Dewey yang menekankan fungsi
berpikir kreatif menganggap bahwa istilah-istilah penyelidikan, makna,
pertimbangan, logika dan verifikasi adalah asas-asa yang amat berguna bagi
efektivitas fungsi berpikir kreatif. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan suatu
problem. Kerena itu kebenaran ialah konsekuensi-konsekuensi daripada suatu ide,
realita pengetahuan, daya guna dalam hidup.
2.
Pengetahuan
itu bersifat pasif
Pengetahuan ialah
perbendaharan informasi, fakta, hokum-hukum, prisip-prinsip, proses,
kebiasaan-kebiasaan yang terakumulasi di dalam pribadi sebagai hasil proses
antaraksi dan pengalaman-pengalaman. Pengetahuan ini di peroleh manusia baik
secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan
hidupnya. Adapun yang di peroleh manusia secara tak langsung yaitu melalui
catatan-catatan yang di wariskan (buku-buku, kepustakaan).
Pengetahuan dengan demikian
berkembang, tumbuh. Pengalaman-pengalaman baru secara tetap memperkaya dan
merubah apa yang telah ada dalam perbendaharaan jiwa kita. Ini berarti bahwa
pengetahuan itu mengalami proses penyempurnaan. Akan tetapi tiada jaminan untuk
menetapkan bahwa pengetahuan yang sukses kemarin akan tetap sukses, berguna dan
benar bagi hari esok, selai selalu melakukan ujian-ujian, retest dan
recheching. Sebab, situasi selalu berubah. Karena itu apa yang benar dan
berguna kemarin, mungkin tidak benar, tak berguna untuk hari esok. Pengetahuan
harus selalu di sesuaikan dan di modefikasi dengan realita-realita baru di
dalam lingkungan.
3.
Kebenaran
bersifat aktif
Hubungan antara pengetahuan
dan kebenaran terletak di dalam proses sebagai berikut : pengetahuan di pandang
sebagai pasif, karena ia adalah satu perbendaharaan pengalaman dan informasi
yang siap menanti penggunaan. Sedangkan kebenarandi anggap sebagai aktif,
karena kebenaran adalah hasil tertentu daripada pengetahuan, hasil pemilihan
alternatif-alternatif dalam proses pemecahan masalah.
Sebaliknya untuk mendapatkan
kebenaran tidak mungkin tanpa perbendaharaan pengetahuan. Perbendaharaan ini
memberikan ide-ide (bagi manusia pada umumnya) dan hipotesa (istilah formal
bagi ide-ide) untuk suatu tindakan-tindakan, suatu problem solving.
4.
Inteligensi
dan operasionalisme
Jhon Dewey menekankan makna
intelegensi, seperti juga ia selalu menekankan makna pengetahuan, kebenaran dan
pikiran tidak di dalam arti tradisional. Inteligensi pada hakeketnya ialah
cara-cara eksperimental dari kehidupan,metode utama antaraksi manusia dengan
lingkungannya. Inteligensi bagi Dewey ialah “product and expression of cumulative funding of the meanings reached in
special inquiries” (2 : 111) ialah “hasil
dari eksperiman daripada perbendaharaan pengertian yang telah di capai dengan
cara-cara yang khusus.
Inteligensi ialah kemampuan
bertingkah-laku tidak secara routine dengan ketaatan yang buta atas
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Inteligensi terutama ialah kemampuan untuk
menafsirkan dan menafsirkan kembali baik suatu alternative maupun konsekuensu-konsekuensi
yang di timbulkannya.
Maka operasionalisme ialah
suatu antisipasi yang tepat. Teori ini terutama di pakai oleh filosof ilmuan
(philosopher scientist) seperti P.W : Bridgman. Operasionalisme memandang
hokum-hukum universal daripada alam sebagai alat bagi interpretasi ilmiah dan
sebagai control, dan bukan sebagai tujuan; karena bukan sesuatu yang tepat atau
bukan sebagai ketertiban abadi. Sesungguhnya, science sebagai keseluruhan juga
di pakai sebagai alat pula.
Metode operasional dalam penggunaan ide-ide (hipotesa-hipotesa)
adalah konsep umum
kebudayaan di samping juga konsep semua filsafat pendidikan. Metode ini dapat
memberi pengarahan dan cara-cara pendekatan tertentu dalam
menafsirkan masalah-masalah kemanusiaan khususnya.
Inteligensi dan metode
operasional adalah cirri utama dari epistimologi progressivisme.
5.
Immediate
dan mediate experience
Meskipun pengalaman adalah
prinsip utama dalam progressivisme, namun pengalaman (empiris, eksperiance) itu
baru benar-benar berarti jika ia ada di dalam batas-batas observasi,
pertimbangan dan control tertentu. Dengan ini maksudnya ialah di samping yang
alamiah, juga yang dalam kondisi tertentu di buat sebagai penyelidikan
(laboratorium, experiman). Progressivisme mambedakan antara fireground reality
(latar depan realita) dengan background reality (latar belakang realita).
Perbedaan ini di tentukan oleh tingkat atau kualitas kesadaran dalam mana
pengalaman itu terjadi.
Pelaksanaan proses “tahu”
dalam pengalaman manusia terjadi melalui dau macam bentuk pengalaman, yakni
immediate-experince dan mediate-experince.
a.
Immediate-experince
Kita menghayati pengalaman ini dalam kesadaran keseimbangan. Misalnya dalam keadaan relax dalam
ruang istirahat kita duduk mambaca majalah. Apa yang kita alami saat itu ialah
ketenangan, tanpa persoalan apapun, ini disebut kita berada dalam adjustment,
kesatuan dan keseimbangan dalam lingkungan. Kita mengalami sesuatu seperti
isi-majalah yang kita baca, menghirup udara segar dalam ruang istirahat itu
sambil menikmati pemandangan alam yang ada di sekitarnya.tetapi pengalaman di
sini terjadi dengan “halus”, sedemikian harmonis antara subyek dengan
lingkungannya. Kita hayati sesuatu dengan tenang, tanpa tekanan psikologis,
tanpa kehilangan keseimbangan. Subyek atau lingkungan ada dalam kesatuan yang
sempurna, sebab tanpa pertentangan apapun antara keduanya. Dewey menyebutkan
pengalaman demikian sebagai “under going”
of an experience.
b.
Mediate-experince
Misalkan
dalam keadaan relax itu terjadi, tiba-tiba da tilpon bordering. Kabar sedih
kita terima, bahwa sahabat karib kita kecelakaan kendaraan, luka parah beberapa
kilometer dari rumah kita itu. Sekarang kita kehilangan keseimbangan dalam arti
psikologis. Kita sedang mempunyai problem yang segera harus di atasi. Yaitu
bahwa saya harus segera ke sana, jika mungkin untuk membantu apa yang dapat di
lakukan.[9]
D. Pandangan
Axiologi Progressivisme
Progressivisme
mengadakan pendekatan masalah nilai-nilai secara empiris berdasarkan pengalaman
pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya aliran-aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas
nilai-nilai supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama.
Progressivisme
mempunyai nilai-nilai bahwa nilai itu bersifat instrinsik dan instrumental.
Nilai instrinsik ialah yang digambarkan sebagai melekat pada objeknya, atau
keadaannya sendiri, dan mempunyai anti bagi dirinya sendiri. Sedangkan nilai
instrumrntal ialah nilai yang baru nampak adanya, bila ada hubungannya dengan
hal-hal lain.[10]
1.
Approach
empiris
Progressivisme mengapproach
masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman reil di dalan
kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Sebaliknya aliran ini tidak
menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai yang non-empiris seperti
nilai-nilai supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama (devine
truth yang bersumber dari wahyu Tuhan).
a.
Hubungan
antara realita dengan pengetahuan
Niai menurut
aliran ini tak terpisahkan daripada realita dan pengetahuan. Sebab nilai-nilai
sebenarnya lahir dan keinginan, dorongan, perasaan, kebiasaan manusia, sesuai
dengan watak manusia yang merupakan kesatuan antara factor-faktor biologi dan
social dalam kepribadiannya. Nilai-nilai ialah sesuatu yang ada di dalam
kehidupan sebagai realita, dan dapat di mengerti manusia sebagai wujud,
pengetahuaan, ide. Sesuatu ide itu benar jika ia mengandung kebaikan; terutama
berguna bagi manusia untuk penyesuaian diri dan demi kehidupannya dalam suatu
lingkaran tertentu. Karena itu relasi antara realita,pengetahuan dan
nilai-nilai adalah sebagai satu mata rantai dalam pengalaman dan kehidupan
manusia yang nyata.
b.
Nilai
instrumental dan nilai intrinsic
Tiap-tiap nilai yang berguna di dalam kehidupan manusia untuk hidup
manusia ialah nilai instrumental. Sesuatu itu bernilai karena dapat
mengantarkan manusia kepada satu tujuan. Misalnya, obat atau vitamin adalah
bernilai instrumentel, sebab dapat mewujudkan kesehatan badan.
Bagi progressivisme, kedudukan kedua nilai itu, intrinsic dan
instrumental analog dengan kedudukan knowledge dan truth dalam teori
epistimologinya, kedua-duanya dependent satu sama lain, seperti juga halnya
relasi knowledge dan truth.
c.
Nilai
social dan nilai individu (social and personal value)
Pembedaan
lain dalam hal nilai-nilai ini ialah antara nilai social dan nilai individu.
Pada prinsipnya, semua nilai-nilai atau produk daripada suatu kualiatas social,
kenyetaan social. Watak social daripada nilai-nilai secara fundamental ialah
pada kodrat individu itu sendiri. Bahwa seorang individu baru akan menjadi
suatu pribadi (sefl) setelah ia dengan aktif berpartisipasi di dalam masyarakat
dimana banyak terhimpun pribadi (selves). Tegasnya sesorang tidaklah dilahirkan
sebagai sati pribadi. Individu baru menyadari diri sendiri setelah sadar akan
individu-individu lain, kepribadian orang lain.
Pada
instansi kedua, barulah nilai-nilai itu bersifat pribadi, personal. Penganut
pragmatism ini tidak sependapat dengan ahli-ahli anthropologi yang menyatakan
bahwa doktrin tentang baik dan jahat tak lebih daripada tradisi, folkways,
kebiasaan-kebiasaan yang menjelma pada individu melalui evolusi masyarakat itu.
Sebab,
individu mempunyai potensi intelegensi, sikap rasional, kritis. Potensi ini
ialah kekuatan dan kemauan untuk memilih, menerima atau menolak sesuatu yang
ada di dalam masyarakat. Individu tidak mewarisi nilai-nilai (baik dan buruk)
dari generasi terdahulu, dari zaman silam yang amat berbeda dengan zaman dan
kebutuhan hidupnya. Individu-individu yang bebas; membentuk masyarakat tak
mungkin ada masyarakat tanpa individu-individu. Karena itu individu yang bebas
ini akan memilih nilai-nilai secara bebas pula. Satu-satunya prinsip untuk
memilih nilai bagi individu ialah interast individu, minat individu. “ values, as an integral part of experience,
are relative, temporal, dynamiv”(2 : 115).
d.
Perkembangan
sebagai nilai (Growth as values)
Tiap organisme tumbuh berkembang, baik dalam arti horizontal maupun
vertical. Berkembang secara horizontal berarti dalam hubungannya
dengan alam lingkungan dan kebudayaan sekarang. Sedangkan berkembang dalam arti
untuk terus meningkatkan kualitas perkembangan itu dengan
penyelidikan-penyelidikan yang mendalam dan continue. Tumbuh dan berkembang
adalah proses alamiah dan kebudayaan manusia atas usaha sadar dan tidak sadar
manusia. Tumbuh dan berkembang adalah realitas dinamis yang pasti terjadi
potensi-potensi ilmiah.
Tumbuh dan berkembang adalah proses yang tak akan berakhir selama manusia
selama manusia hidup; karena itu growth ini lebih daripada kesempurnaan
(perfection) menurut pragmatism.
2.
Approach
artistic
Pragmatisme, khususnya
Dewey, amat menaruh perhatian pada studi estetika, nilai-nilai artistic. Sebab,
artistic adalah suatu nilai yang memperkaya ekspresi manusia. Artistic adalah
satu energy pendorong kehidupan bagi umat manusia. Nilai-nilai artistic mamberi
isi dan kedalaman bagi pengalaman-pengalaman seseorang.
a.
Nilai
estetika
Nilai estetika adalah immediate experience, karena itu ia adalah satu
nilai kesenangan dalam pengalaman manusia. Estetika adalah nilai kehidupan yang
di nikmati hidup, yang tidak menantang problema. Bagaimana nilai-nilai estetika
suatu simphoni, lukisan, taman, dapat di nikmati itu dapat pula menggugah rasa
sosia, terutama rasa hormat, kagum dan penghargaan kepada pencipta realita
estetika itu.
b.
Ilmu
pengetahuan dan seni (science and arts)
Pragmatis
menganggap bahwa ilmu dan seni bukanlah dua bidang yang terpisah, melaikan
suatu prestasi manusia yang komplementatif. Sebab dalam praktek kehidupan
kedua-duanya amat di perlukan manusia.
Bahkan
dalam proses penciptaan hasil-hasil seni, bukanlah semata-mata fungsi-fungsi
kreatif yang utama, melaikankan juga fungsi-fungsi reflective (berpikir) amat
di perlukan.
3.
Democracy
as value (demokrasi sebagai nilai)
Perkembangan Negara-negara
demokrasi adalah suatu sumber utama bagi tumbuhnya filsafat progressivisme.
meskipun di yakini bahwa
demokrasi itu masalah politik, tetapi progressivisme menghayati demokrasi tidak
dalam makna politik.
Bagi progressivisme,
demokrasi ialah suatu pola dan program bagi seluruh scope kehidupan. Demokrasi
adalah suatu perwujudan daripada nilai-nilai fundamental, sikap dan
praktek-praktek. Demokrasi adalah nilai ideal yang wajib di laksanakan
sepenuhnya dalam semua bidang kehidupantermasuk kedalam seni dan keagamaan.
Dari segi ontologism,
demokrasi ialah pengalaman dinamis dan interdependensi antara sesame manusia.
Demokrasi adalah jalan keluar, kanalisasi bagi dorongan-dorongan yang dalam
daripada pribadi,seprti self-respect, martabat, hasrat bersatu, rasa tanggung
jawab di dalam kehidupan manusia.
Dari segi epistimologi,
demokrasi adalah benih dan buah daripada praktek-prektek yang luas inteligensi.
Demokrasi adalah usaha mencari kebenaran, seperti juga proses ilmu pengetahuan
dalam mencari kebenaran. Dengan perkataan lain, demokrasi ialah ide-ide,
pemikiran-pemikiran yang di laksanakan di dalam pergaulan social. Dalam
komunikasi social, maka essensi fenomena social itu ialah demokrasi. Dan
demokrasi yang telah melembaga merupakan perwujudan dari identitas social.
Secara axiologis, demokrasi terutama merupakan nilai instrumental dari nilai
intrinsic. Dalam arti ideal, demokrasi adalah jalan menuju kenahagiaan.
Demokrasi adalah nilai individual
sekaligus nilai social.
Brubacher berkesimpulan
tertang makna demokrasi meliputi :
a.
Democracy
as respect for dignity of the individual;
b.
Democracy
as equalitarianism;
c.
Democracy
as sharing.[11]
E. Asas
Belajar Menurut Progessivisme
Pandangan
progressivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik
sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain.disamping itu, menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat
menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progressivisme.
Menurut progressivisme,
belajar sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah, belajar
terjadi di dalam semua kesempatan dan tempat, jadi termasuk didalam masyarakat.
Justru proses edukatif harus mampu mengalahkan
pengaruh-pengaruh buruk yang ada di dalam masyarakat dengan jalan
mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi kondisi edukatif.[12]
1.
Anak
dan lingkungannya
Anak adalah organisme yang
mengalami satu proses pengalaman, sebab ia merupakan bagian integral dari
lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa, antara hubungan, perasaan pikiran dan
benda-benda.
Anak berada di dalam
lingkungan yang selalu mengalami proses perubahan, perkembangan. Meskipun anak
sebagai bahan integral dari lingkungannya, namun ia tetap mempunyai identitas
sendiri yang berbeda dengan makhluk-makhluk alamiah yang lainnya manapun.
Sebab, anak memiliki kemampuan inteligensi yang dapat memecahkan problem dalam
hidupnya. Dan proses pendidikan terutama di pusatkan untuk latihan dan
penyempurnaan inteligensi.
Sekolah sebagai lembaga
pendidikan adalah wadah pembinaan anak yang paling efektif, jika sekolah di
dasarkan pada prinsip-prinsip yang tepat. Dasar untuk tepatnya pendidikan itu
terutama bersumber dari pandangan-pandangan ilmu jiwa khususnya psikologi
belajar.
Mengenai hal ini
progessivisme berpegang pada eman prinsip yang di sebutnya six generalizations
:
(1)
Ilmu
jiwa harus secara praktis membimbing proses pendidikan sejalan dengan
prinsip-prinsip filsafat pragmatis. Sifat dinamis, perubahan-perubahan alamiah
harus di mengerti pula adanya pada kodrat anak : keadaan sensitive, responsive,
semangat, hasrat ingin tahu dan dorongan menyelidiki harus di bantu
berkembangnya oleh kondisi lingkungan sekolah secara positif.
(2)
Belajar
sesungguhnya adalah pengalaman yang wajar. Dalam proses belajar sama dengan
proses pemecahan masalah yang mengganggu organisme. Dan dengan prose situ tidak
saja gangguan-gangguan itu di akhiri, tetapi juga terbentuklah response baru
dalam pola perkembangan pribadi anak. Belajar adalah fungsi hidup organisme,
seperti juga gizi makanan adalah satu fungsi hidup manusia.
(3)
Dalam
proses belajar, harus di sadari bahwa yang aktif adalah “the whole child”, dan
bukan hanya “mind” saja. Seluruh struktur tingkah-laku adalah pula perwujudan dari
seluruh aspek kepribadiannya, secara
utuh.
(4)
Lingkungan
anak sama fundementalnya dengan kodrat dirinya sendiri. Diri anak adalah bagian
dari lingkungannya; keduanya ada dalam antara hubungan saling pengaruh
mempengaruhi. Keduanya saling berpengaruh dalam proses perubahan, perkembangan.
(5)
Fungsi
belajar selalu berkembang menurut level dan kompleksitsnya, dan tingkat
tertinggi dari fungsi itu adalah inteligensi.
(6)
Progressivisme
menolak beberapa konsep kesimpuln-kesimpulan ilmu jiwa tradisional, terutama
tentang daya jiwa dan pembawaan. Aliran ini terutama menekankan peranan
lingkungan dalam pembinaan pribadi. Teori tingkah laku yang tersimpul dalam
asas kausalitas, asas response yang mengikuti stimulus (stimulus-response),
akan berkembang lebih efektif hanya melalui latihan. Karena itu latihan yang
riel sesuai dengan realita dalam lingkungan berarti memperbaiki tingkah laku.
2.
Living
as learning (kehidupan yang riel sebagai proses belajar).
Belajar sesungguhnya bukan
semata-mata terjadi di dalam sekolah; belajar terjadi dalam semua kesempatan
dan temapat, jadi termasuk dalam masyarakat. Justru proses edukatif harus mampu
mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk yang ada di dalam masyarakat dengan jalan
menginbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-kondisi edukatif.
Problem-problem di dalam
masyarakat (kenakalan pemuda, masalah sex, narkotika dan sebagainya) harus di
jadikan materi orientasi dan analisa dalam program sekolah.
3.
Teori
belajar aliran ini terutama dapat di ikhtisarkan dalam pokok-pokok berikut
sebagai pusat perhatian :
a.
Interest,
minat anak.
b.
Effort,
usaha berupa self-activity.
c.
Purpose,
tujuan yang jelas untuk apa ia belajar, gunanya.
d.
Intelligence,
adalah potensi untuk mengerti, memecahkan problem, komunitas, daya cipta.
e.
Habit,
yakni kebiasaan yang sudah ada, dan pembinaan pola-pola kebiasaan baru yang
lebih efektif.
f.
Growth,
pangalaman-pengalaman yang harus mendorong perkembangan pribadi, demikian
seterusnya.
g.
Organism,
anak adalah satu unity organism, ia belajar dengan seluruh kepribadiannya, baik
jiwa maupun badaniah.
h.
Culture,
lingkungan alamiah, adalah realita yang dalam batas-batas tertentu dapat di bina
manusia. Lingkunga social budaya adalah produk karya dan cipta manusia.
Kebudayaan tetap merupakan wujud yang mempunyai antara hubungan dengan
perkembangan pribadi. Belajar tak dapat di pisahkan dari realita kebudayaan,
cita-cita kebudayaan.[13]
F. Kurikulum
Progressivisme
Menurut
progressivisme, kurikulum yang baik adalah seperti fungsi suatu laboraturium.
Ia selalu sebagai rentetan kontinu suatu eksperimen, dan semua pelakunya, ialah
guru bersama muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmuwan.
Kurikulum progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “ Liberal road to culture” . tokoh
progessivisme yang terkenal di antaranya adalah William James (1842-1910) dan
Jonh Dewey (1856-1952) .[14]
Kurikulum baik ialah seperti
fungsi suatu laboratorium. Ia selalu sebagai rentetan continue suatu
eksperimen, dan semua pelakunya, ialah guru bersama muridnya, yang dalam
beberapa aspek melakukan fungsi ilmiahwan. Karena itu perlu di hindarkan
kurikulum yang kaku, standart yang mekanis, penyelesaian-penyelesaian
trsadisional. Seperti juga metode-metode eksperimental bersifat lentur,
eksploratif, progressif, berhasrat dan berinisiatif menciba yang belum di coba,
demikian pula sebaiknya meteri kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum
progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “liberal road to culture”.
Progressivisme menghendaki
bentuk yang bervariasi dan isi kurikulum yang kaya. Aliran ini tetap memerlukan
suatu perencanaan pendidikan dan kurikulum, tetapi atas prinsip-prinsip yang
dinamis, bukan pola-pola yang statis. Apa yang mereka butuhkan di dalam kurikulum ialah isi mendorong
perkembangan pribadi yang meliputi perkembangan minat, berpikir dan kemampuan
praktis. Inilah yang di maksud Kilpatrick dengan istilah “emerging curriculum” yang dalam pelaksanaannya memakai metode
proyek (project method).
1.
Tipe-tipe
struktur kurikulum.
Sejak progressivisme
melakukan eksperimen tentang kurikulum, mereka telah menyusun dan membina
kembali lima tipe kurikulum, dimana empat tipe pertama sedikit banyak di anggap
masih kompromi dengan pola-pola kurikulum tradisional.
a.
Reorganisasi
di dalam suatu subyek khusus sebagai langkah pertama mencari pola dan design
yang baru.
b.
Korelasi
antara dua atau lebih subject-matter, misalnya antara bahasa nasional dengan
social-studies.
c.
Pengelompokan
dan hubungan integrative dalam satu bidang pengetahuan, misalnya : “pendidikan
umum” dalam ilmu pengetahuan dan arts.
d.
“core-curriculum”,
suatu kelompok mata pelajaran yang member pengalaman dasar dan sebagai
kebutuhan umum yang utama.
e.
“experience-certered
curriculum” yakni kurikulum yang mengutamakan pengalaman dengan menekankan pada
unit-unit tertentu.
Unit-unit dalam pelaksanaan experience-certered
curriculum yang di dasarkan pada kebutuhan dan minat anak di arahkan bagi
perkembangan pribadi secara integral terutama pikir, perasaan, motor (gerak dan
kerja) dan pengalaman social.
2.
The
nature of real problems (kodrat masalah-masalah yang realistis).
Artinya masalah-masalah di
dalam kurikulum pertama berdasarkan realita kehidupan yang wajar.
Dengan pendekatan terhadap masalah yang wajar dalam kehidupan anak-anak tidak
di persiapkan untuk mampu dalam kehidupan yang akan datang. Melaikan telah
berpartisipasi dengan situasi kehidupan yang sesungguhnya di mana ia dan
sekolah adalah bagian daripada kehidupan yang sebenarnya.
Realita kehidupan yang wajar
dengan aspek-aspek persoalannya itulah yang di jadikan thema unit-unit
kurikulum. unit-unit dalam kurikulum tipe “berorientasi pada pengalaman” ini di
buat sebagai suatu perwujudan kehidupan yang wajar. Sebab, didalam realita
kehidupan, persoalan-persoalan yang kita hadapi selalu ada di antara hubungan
dan antaraksinya, demikian pula problem-problem yang timbul di dalamnya, harus
di ambil sebagaiman adanya di dalam unit-unit ini. Hanya ini yang akan member
pengalaman dalam makna “inilah hidup itu sendiri”. Dengan demikian pendidikan
tidaklah menyiapakan pribadi anak bagi tujuan yang akan datang, melaikan telah
membimbing pengalamannya (perasaan, pikiran dan tindakan) dalam konteks yang
realistis.
3.
Child-certered
or community-certered schools.
Sebelum isu pendidikan yang
amat penting ialah problem yang tersimpul dalam thema ini : apakah sekolah
(pendidikan dan isinya) berpusat orientasi pada pribadi anak, ataukah kepada
masyarakat (manusia sebagai keseluruhan). Dengan kata lain, apakah sekolah yang
baik itu memusatkan perhatiannya pada anak (minat dan pertumbuhan individu),
ataukah kepada masalah dan perkembangan yang real di dalam masyarakat di mana
sekolah itu menjadi bagian.
a.
Child-certered
gunanya sebagai dasar kurikulum dan prinsip pendidikan watak dan proses
perkembangan anak. Jadi proses orientasi ialah psikologi anak. Kurikulum di
arahkan supaya efektif dalam perkembangan kepribadian anak sebagai satu
totalitas. Kurikulum harus mengandung unsure-unsur yang kaya bagi perkembangan
prakarsa, perasaan, pikiran-pikiran spontan dan kreatif, ekspresi, sikap social
dan sikap kritis.
Konsekuensi asas ini ialah guru harus benar-benar mengenal
individualitas anak.
b.
Community-certered,
ialah suatu deskripsi dan interprestasi dari hasil eksperimen tahin 1930-an
yang memusatkan perhatian, dan memakai masyarakat sebagai satu totalitas medan
orientasi pendidikan. Masyarakat yang meliputi baik yang lingkungan alamiah
maupun social berfungsi sebagai laboratorium belajar.
Prinsip pandangan ini berasal dari kesimpulan progressivisme : bahwa
jika belajar di bina atas kehidupan yang wajar manusia, maka kurikulum seluas
mungkin harus bersumber dari kehidupan yang sebenarnya. Dan kurikulum demikian
seluruhnya berasal dari lingkungan hidup “living reality”.[15]
G. Penilaian
Kebudayaan atas Progressivisme
Semua aliran filsafat
pendidikan pada hakekatnya adalah interprestasi kebudayaan atas segala prinsip
dan aspek pendidikan. Khusunya aliran progressivisme, yang menyusun prinsip-prinsipnya
atas empat asas pokok, di mana keempat asas itu merupakan perwujudan kebudayaan
: (1) revolusi industry, (2) ilmu pengetahuan modern, (3) perkembangan
demokrasi, dan (4) lingkungan hidup. Dan sebenarnya keempat asas ini bersifat
interdependensi, dalam perkembangannya saling mempengaruhi.
Ciri utama yang menjadi
identitas progressivisme dalam mission filsafat dan pendidikannya tercermin
dalam : (1) pendidikan dalam kebudayaan liberal, (2) progressivisme menjadi
pelopor pembaharuan ide-ide lama menuju asas-asas baru menyongsong kebudayaan
dan zaman baru, (3) progressivisme mempunyai watak peralihan, menuju kebudayaan
baru. Sesuai dengan prinsip progresssivisme bahwa secara ontologism segala
realita ada dalam proses berubah, berkembang, demikian pula kebudayaan.
Dari segi nilai-nilai, yang
melahirkan sikap dan tindakan manusia, maka progressivisme menanamkan
prinsip-prinsip; progressivisme percaya bahwa nilai selalu berhubungan antara
alam dan inteligensi yang mewujudkan terkristalisasi dalam :
(1)
Selalu
ada antaraksi prinsip-prinsip tingkah laku antara nilai-nilai sebagai alat atau
sebagai tujuan; antara nilai-nilai individu dan nilai-nilai social.
(2)
Dari
segi filsafat seninya,ia menekankan rhythm (irama) ekspresi estetis antara
pengalaman-pengalaman tak langsung dengan pengalamn-pengalaman langsung.
(3)
Nilai
tertinggi dari demokrasi ialah kedua fungsi; yakni sebagai kritik atas
kekurangan-kekurangan kebudayaan kita sekarang; dan juga sebagai norma bagi
kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangan dan memperkaya semangat kerjasama
bagi potensi-potensi kreatif dalam kehidupan kebudayaan.
Dalam teori dan praktek
pendidikan, progressivisme mendorong banyak pemikir dan mempengaruhi kebudayaan
dengan system organisasi dan sebagai aliran eksperimental. Progressivisme
sungguh-sungguh berorientasi pada pengalaman anak sebagai “the whole child” dan
membinanya dengan materi pelajaran yang tepat, serta di dasarkan pada asas
teori psikologi belajar melalui pengertian yang operasional tentang minat,
usaha, habit, growth, organisme, kebudayaan dan di atas semua itu asas inteligensi.
Progressivisme menghendaki
pendidikan yang membina dan berdasarkan minat belajar yang mencakup seluruh
pengalaman social anak dan orang dewasa sekaligus menaruh perhatian kepada
minat anak secara individual. Aliran ini lebih memusatkan perhatian kepada
proses yang continue daripada antaraksi antara pribadi dana masyarakat, di
bandingkan ketentuan-ketentuan normative yang sesungguhnya adalah produk
antaraksi itu sendiri. [16]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian dasar yang
menjadi ciri dari aliran ini adalah progres, yang berarti maju. Progressivisme
lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa
lalu. Aliran progressivisme memandang bahwa manusia memiliki hak asasi yang
bertumpu pada kebebasan mutlak (liberalisme)
yang menuju ke arah kebudayaan (liberal
road to culture) . aliran ini tidak mengaku suatu kemutlakan kehidupan,
sehingga nilai-nilai yang dipengangi bersifat fleksibel terhadap perubahan,
tidak rigid, dan tidak terikat pada suatu nilai tertentu, toleran dan terbuka.
Progressivisme
mengadakan pendekatan masalah nilai-nilai secara empiris berdasarkan pengalaman
pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya aliran-aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai
supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama.
Menurut progressivisme,
kurikulum yang baik adalah seperti fungsi suatu laboraturium. Ia selalu sebagai
rentetan kontinu suatu eksperimen, dan semua pelakunya, ialah guru bersama
muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmuwan. Karena itu perlu
dihindarkan kurikulum yang kaku, standar yang mekanis,
penyelesaian-penyelesaian tradisional. Seperti juga metode-metode
eksperimental, eksploratif, progresif, berhasrat dan berinisiatif mencoba yang
belum di coba, demikian pula sebaliknya materi kurikulum dan metode pengajaran.
Kurikulum progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “ Liberal road to culture” .
Semua aliran filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah interprestasi
kebudayaan atas segala prinsip dan aspek pendidikan. Khusunya aliran
progressivisme, yang menyusun prinsip-prinsipnya atas empat asas pokok, di mana
keempat asas itu merupakan perwujudan kebudayaan : (1) revolusi industry, (2)
ilmu pengetahuan modern, (3) perkembangan demokrasi, dan (4) lingkungan hidup.
Dan sebenarnya keempat asas ini bersifat interdependensi, dalam perkembangannya
saling mempengaruhi. Progressivisme adalah filsafat dan lembaga pendidikan yang
mencernimkan liberal way of life. Dengan demikian seperti liberalism sendiri,
maka progressivisme sangat berpengaruh dalam interprestasinya tentang
kebudayaan modern. Ia berhasil dalam membina sikap kritis terhadap kebudayaan
lama untuk kemudian mengadakan reformasi. Ia juga sukses dalam membina program
yang rasional dalam membina kebudayaan baru, dan sekaligus untuk menghadapi
priode transisi dari kebudayaan lama menuju kebudayaan baru.
DAFTAR
PUSTAKA
Amri,
Amsal. 2007. Studi
Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: PeNA.
Arifin, Muzayyin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Syam, Muhammad Noor.
1986. Filsafat Pendidikan Dan Dasar
Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm.
231-233
[3]
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), hlm. 21
[4]
Ibid, hlm. 22
[5]
ibid, hlm. 23
[7] Mohammad Noor Syam, hlm: 233-235
[9] Mohammad Noor Syam, hlm: 235-243
[11] Mohammad Noor Syam, hlm: 243-249
[13] Mohammad Noor Syam, hlm: 249-252
[15] Mohammad Noor Syam, hal: 252-256
[16] Mohammad Noor Syam, hal: 256-260
Tidak ada komentar:
Posting Komentar