Pengikut

Rabu, 22 Juli 2015

aliran Filsafat

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof sepanjang zaman di seluruh dunia. Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi sedimikian kuat, sehingga tiap orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik sadar maupun tidak, langsung ataupun tidak langsung. Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Berdasarkan kenyataan sejarah, filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang terlepas daripada pra kondisi yang menantang.
Klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori dan praktek pendidikan yang menjadi ide pokok masing-masing filsafat tersebut. Demikian pula klasifikasi itu sendiri akan berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam menetapkan klasifikasi itu. Pembagian Brameld dalam bukunya “Philosophies of Education in Cultural Perspective” ialah aliran-aliran: (1) Essentialism; (2) Progressivism; (3) Perennialism; (4) Reconstructionsme. Pembagian atas keempat aliran utama tersebut secara garis besar dan masih engandung adanya overlapping.
Aliran – aliran filsafat pendidikan yang ada sampai sekarang, menunjukkan adanya aspirasi kelompok manusia yang pada dasarnya menginginkan realisasi nilai-nilai kemanusiaan ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hanya tekanan masing-masing aliran mempunyai paham yang berbeda-beda pada aspek kehidupan itu, yaitu cara pencapaian tujuannya melalui proses pendidikan, dan juga pandangan dasar terhadap penekanan aspek kehidupan manusia dari segi idealnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang aliran progressivisme?
2.      Bagaimana pandangan ontologi, epistemologi, dan axiologi progressivisme?
3.      Bagaimana asas belajar menurut progressivisme?
4.      Bagaimana kurikulum progressivisme?
5.      Bagaimana penilaiaan kebudayaan atas progressivisme?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengatahui latar belakang aliran progressivisme.
2.      Untuk mengetahui pandangan ontologi, epistemologi, dan axiologi progressivisme.
3.      Untuk mengetahui asas belajar menurut progressivisme.
4.      Untuk mengetahui kurikulum progressivisme.
5.      Untuk mengetahui penilaian kebudayaan atas progressivisme.
BAB II PEMBAHASAN
ALIRAN PROGRESSIVISME
Progressivisme berkembang dalam permulaan abad 20ini terutama di Amerika Serikat. Progressivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia (filsafat) pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijakan-kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad ke-19.
Pandangan-pandangan progressivisme di anggap sebagai “the liberal road to culture”. Dalam arti bahwa liberal di maksudkan sebagi fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Dan liberal dalam arti lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi penganutnya tidak hanya memegang sikap seperti tersebut di atas, melainkan juga selalu bersifat penjelajah, peneliti secara continue demi pengembangan pengalaman. Meraka mempunyai jiwa dan semangat penyelidik yang terbuka sikapnya, yang tidak mengenal selesai; memiliki kemampuan baik untuk mendengarkan kritik, ide-ide lawan sambil member kesempatan kepada mereke itu untuk membuktikan kebenaran ide mereka.
Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transition. Ini berarti bahwa pendidikan di anggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang. Pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan cultural dan tantangan-tantangan zaman, demi srvive-nya manusia. Progressivisme juga percaya bahwa pendidikan dapat menolong manusia dalam menghadapi periode transisi antara zaman tradisional yang sisa yang segera berakhir, untuk setiap memesuki zaman yang progressif (modern) yang segera kita masuki. Phase ini pun permulaan pula bagi priode revolusi menuju tata social, teknologi dan moral yang supermodren.
Sebagai ciri utama lain progressivisme adalah suatu filsafat transisi antara dua konfigurasi kebudayaan yang besar. Progressivisme adalah rasionalisasi mayor daripada suatu kebudayaan, yakni: (1) Perubahan yang cepat dari pola-pola kebudayaan barat yang di warisi dan di capai dari masa silam, dan; (2) Perubahan yang cepat menuju pola-pola kebudayaan barat yang sedang dalam proses pembinaan untuk masa depan.
A.    Latar Belakang Aliran Progressivisme
Pengertian dasar yang menjadi ciri dari aliran ini adalah progres, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Aliran progressivisme memandang bahwa manusia memiliki hak asasi yang bertumpu pada kebebasan mutlak (liberalisme) yang menuju ke arah kebudayaan (liberal road to culture) . aliran ini tidak mengaku suatu kemutlakan kehidupan, sehingga nilai-nilai yang dipengangi bersifat fleksibel terhadap perubahan, tidak rigid, dan tidak terikat pada suatu nilai tertentu, toleran dan terbuka. (Arifin, 1987:183).
Ciri utama aliran progressivisme ialah bahwa aliran ini memandang manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia yang lingkungan hidupnya yang multi kompleks dengan keterampilan dan kekuatan sendiri.[1]
Latar belakang ide-ide filsafat yunani, baik heraklitos maupun Socrates, bahwa juga Protagoras amat mempengaruhi aliran ini. Heraklitos tentang perubahan “all reality is characterized by constant, than nothing is permanent except the principle of change it self” (2 : 94) adalah menjadi asas progressivisme.
Ide Socrates yang menyatukan nilai ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip moral juga di anggap berpengaruh atas progressivisme. Karena ilmu ini berarti kebaikan manusia tercapai, jadi ilmu mempunyai nilai ethis, nilai bina kepribadian. Dan kepribadian ideal ialah yang berilmu dalam arti demikian, sebab ilmu dan kebaikan pribadi adalah identik. Kaum sophisme terutama Protagoras, yang menyatakan bawa kebenaran dan nilai-nilai bersifat relative menurut waktu dan tempat; bahkan menurut subyek (manusia), adalah peletakan pandangan progressivisme tentang nilai-nilai.
Filosof Francis Bacon telah menanamkan asas metode experiment yang kemudian menjadi metode utama dalam filsafat pendidikan progressivisme. Jhon Locke, tidak saja teorinya tentang empirisme yang menekankan faktor luar yang amat dominan dalam pembinaan kepribadian. Tapi juga teorinya tentang asas kemerdekaan, lebih-lebih yang di laksanakan sebagai kemerdekaan politik yang menghormati hak asasi manusia sebagai pribadi. Demikian pula Rousseau yang menyakini kebaikan kodrat-manusia, yang menghormati kebaikan alamiah anak. Juga belum lengkap pengaruh yang tertanam di dalam progressivisme tanpa adanya pengaruh Kant dan Hegel. Kant peletak dasar atas “a liberal glorification of the individual in the unassailable dignity of human personality” (2 : 95), penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Sedangkan Hegel peletak asas “the dynamic, ever-readjusting processes of nature and society”(2 : 95), dinamika, proses penyesuaian yang terus menerus oleh individu terhadap alam dan masyarakat.
Akhirnya tokoh-tokoh pelopor bangsa Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, Thomas Jefferson telah mempengaruhi progressivisme dalam sikapnya yang menentang dogmatism, dan sikap positif yang menjunjung hak asasi individu dan nilai-nilai demokrasi.
Di samping pengaruh tokoh-tokoh filsafat di atas, ada pula pengaruh kebudayaan yang secara khusus di tulis oleh Brameld sebagai empat faktor kebudayaan yang terpengaruh atas perkembangan progressivisme.
a.       Revolusi Industri
Revolusi industry adalah istilah yang di pakai untuk suatu era dari ekonomi modern yang merubah keadaan social polotik manusia. Era ini di tandai dengan kemerosotan feodalisme dan timbulnya serta matangnya kapitalisme.
b.      Modern Science
Ilmu pengetahuan modern berkembang sejalan dan erat hubungannya dengan revolusi industry. Bahkan hubungan keduanya bersifat kausalitas, sebab-akibat. Sebagai akibat (effect) sebab perkembangan science di dorong dan di topang oleh kemajuan ekonomi; sebagai sebab, karena science adalah alat utama untuk membina mesin/teknik untuk mengeksplorasi sumber-sumber alamiah. Science telah merubah dan memajukan efisiensi, perluasan dan peningakatan produksi, penemuan system ekonomi baru, administrasi dan sebagainya.
c.       Perkembangan Demokrasi
Pengaruh demokrasi, seperti pengetahuan atas hak asasidan martabat manusia, berarti memberi kemungkinan bagi perkembangan maksimal kepribadian manusia. Demokrasi dan perkembangan ilmu pengetahuan saling mempengaruhi, dan itu nyata setelah berakhirnya abad pertengahan dan di mulainya zaman Renaissance.[2]
Sifat-sifat aliran progressivisme
Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif. Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti misalnya pendapat dalam agama, politik, etika dan epistimologi. Positif dalam arti, bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam sejak ia lahir- man’s natural powers.[3]
Progressivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam. Akan tetapi di samping keyakinan-keyakinan ini ada juga kesangsian. Dapatkah manusia menggunakan kecakapannya dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam, juga dalam ilmu pengetahuan sosial? Dalam hubungannya dengan sesama manusia? Pragmatisme (dan progressivisme) yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan itu, akan tetapi apakah manusia dapat belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu dalam hal ini, di sini timbul sedikit kesangsian. Tetapi, meskipun demikian progressivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat menguasai seluruh lingkungannya, lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Maka tugas pendidikan menurut pragmatisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam bentuk pekerjaan praktis. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya bepikir melulu untuk kesenangan  berpikir saja, manusia hendaknya berpikir untuk berbuat. Pragmatisme menolak pure intellectualisme.[4]
Perkembangan aliran progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates (469 – 399), Protagoras (480 – 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut pragmatisme- progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realita ialah perubahan. Socrates berusaha mempersatukan epistimologi dengan axiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). Protagoras seorang sophis, mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan.
Dalam asas modern – sejak abad ke-16. Francis Bacon memberikan subangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode experimentil (metode ilmiah dengan pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari para manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant memuliakan manusia, meenjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.[5]
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan  pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja”, yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Tokoh pragmatisme yang lebih terkenal ialah William James dan John Dewey.
B.     Pandangan Ontologi, Progressivisme
Progressivisme yang didukung pragmatisme, tidak mempunyai pendapat tentang realita umum. Mereka tidak menggunakan istilah universe (alam semesta) dalam arti kosmos, karena itu lebih menekankan prinsip estensi, tetapi memakai istilah dunia karena menekankan prinsip-prinsip eksistensi (keberadaan, wujud). Adapun yang dimaksud dunia dalam aliran ini adalah dunia dimana kita hidup, yang berarti proses atau tata aturan di mana manusia hidup di dalamnya.[6]
Thesis aliran ini tentang ontology, tentang hakekat eksistensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai berikut :
1.      Asas Hereby atau asas keduniawian
Realita semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe” berarti eksistensi yang amat luas, tak terbatas. Tetapi realita kosmos yang demikian sungguh-sungguh realita, bukan dalam arti yang di maksud oleh dokrin realita mutlak. Sebab realita kosmos itu adalah kenyataan dalam mana kehidupan manusia berada, berlangsung.
2.      Pengalaman sebagai realita
Manusia dalam ontology sesungguhnya memcari dan menghadapi secara langsung suatu realita disini dan sekarang yakni sebagai lingkungan hidup. Menurut Dewey, pengalaman adalah key-concept, kunci pengertian manusia atau segala sesuatu.
Pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kegilaan dan kebodohan, halangan cinta dan sebagainya adalah realita dalam mana manusia hidup sampai ia mati.
Asas ontology-nya yang di dasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil yang bersumber dalam teori Evolusi. Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup sebenarnya adalah tindakan-tindakan dan perubahan-perubahan.
Pengalaman dalam arti di atas mengandung sifat-sifat sebagai berikut :
a.         Pengalaman itu dinamis : hidup selalu dinamis, menuntut adaptasi dan readaptasi dalam semua variasi perubahan yang terjadi terus-menerus. Realita itu menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternative-alternatif.
b.        Pengalaman itu temporal. Demikian pula pengalaman akan berubah, berbeda-beda dari hari, tahun dan abad lampau di bandingkan dengan hari, tahun dan abad mendatang. Pengalaman berlangsung di dalam waktu, berakhir atau berubah di dalam waktu.
c.         Pengalaman itu spatial, terjadi di suatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia.
d.        Pengalaman itu pluralistis.
Pengalaman itu terjadi seluas adanya antara hubungan dan antaraksi dalam mana individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu, menangkapnya dengan seluruh kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan pancaindranya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis.
3.      Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik
Menurut progressivisme potensi inteligensi ini meliputi kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dam memecahkan persoalan-persoalan serta berkomonikasi (social dan intelek) dengan sesamanya. Mind adalah satu integritas di dalam kepribadian, bukan suatu entity tersendiri. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. Mind ialah apa yang manusia lakuakan. Dan mind pada prinsipnya adalah yang berperan di dalam pengalaman.[7]
C.    Pandangan Epistimologi Progressivisme
Progressivisme membedakan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah timbunan kesan-kesan yang berasal dari pengalaman dan penerangan yang terkumpul, yang siap digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengatahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan untuk menimbulkan petunjuk atau penyelesaiaan pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam hubungangan ini kecerdasam merupakan faktor utama yang kedudukannya sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik, kebudayaan atau manusia.[8]
1.      Pengetahuan dan Kebenaran
Suatu ide yang dapat di laksanakan adalah suatu ujian atau test atau kebenaran ide itu. Test ini ialah untuk mengetahui kualitas kebenaran suatu ide dalam arti sampai di mana ide itu berguna dan memenuhi harapan untuk menyesuaikan diri dari tantangan yang ada. Dewey yang menekankan fungsi berpikir kreatif menganggap bahwa istilah-istilah penyelidikan, makna, pertimbangan, logika dan verifikasi adalah asas-asa yang amat berguna bagi efektivitas fungsi berpikir kreatif. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan suatu problem. Kerena itu kebenaran ialah konsekuensi-konsekuensi daripada suatu ide, realita pengetahuan, daya guna dalam hidup.
2.      Pengetahuan itu bersifat pasif
Pengetahuan ialah perbendaharan informasi, fakta, hokum-hukum, prisip-prinsip, proses, kebiasaan-kebiasaan yang terakumulasi di dalam pribadi sebagai hasil proses antaraksi dan pengalaman-pengalaman. Pengetahuan ini di peroleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya. Adapun yang di peroleh manusia secara tak langsung yaitu melalui catatan-catatan yang di wariskan (buku-buku, kepustakaan).
Pengetahuan dengan demikian berkembang, tumbuh. Pengalaman-pengalaman baru secara tetap memperkaya dan merubah apa yang telah ada dalam perbendaharaan jiwa kita. Ini berarti bahwa pengetahuan itu mengalami proses penyempurnaan. Akan tetapi tiada jaminan untuk menetapkan bahwa pengetahuan yang sukses kemarin akan tetap sukses, berguna dan benar bagi hari esok, selai selalu melakukan ujian-ujian, retest dan recheching. Sebab, situasi selalu berubah. Karena itu apa yang benar dan berguna kemarin, mungkin tidak benar, tak berguna untuk hari esok. Pengetahuan harus selalu di sesuaikan dan di modefikasi dengan realita-realita baru di dalam lingkungan.
3.      Kebenaran bersifat aktif
Hubungan antara pengetahuan dan kebenaran terletak di dalam proses sebagai berikut : pengetahuan di pandang sebagai pasif, karena ia adalah satu perbendaharaan pengalaman dan informasi yang siap menanti penggunaan. Sedangkan kebenarandi anggap sebagai aktif, karena kebenaran adalah hasil tertentu daripada pengetahuan, hasil pemilihan alternatif-alternatif dalam proses pemecahan masalah.
Sebaliknya untuk mendapatkan kebenaran tidak mungkin tanpa perbendaharaan pengetahuan. Perbendaharaan ini memberikan ide-ide (bagi manusia pada umumnya) dan hipotesa (istilah formal bagi ide-ide) untuk suatu tindakan-tindakan, suatu problem solving.
4.      Inteligensi dan operasionalisme
Jhon Dewey menekankan makna intelegensi, seperti juga ia selalu menekankan makna pengetahuan, kebenaran dan pikiran tidak di dalam arti tradisional. Inteligensi pada hakeketnya ialah cara-cara eksperimental dari kehidupan,metode utama antaraksi manusia dengan lingkungannya. Inteligensi bagi Dewey ialah “product and expression of cumulative funding of the meanings reached in special inquiries” (2 : 111)  ialah “hasil dari eksperiman daripada perbendaharaan pengertian yang telah di capai dengan cara-cara yang khusus.
Inteligensi ialah kemampuan bertingkah-laku tidak secara routine dengan ketaatan yang buta atas kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Inteligensi terutama ialah kemampuan untuk menafsirkan dan menafsirkan kembali baik suatu alternative maupun konsekuensu-konsekuensi yang di timbulkannya.
Maka operasionalisme ialah suatu antisipasi yang tepat. Teori ini terutama di pakai oleh filosof ilmuan (philosopher scientist) seperti P.W : Bridgman. Operasionalisme memandang hokum-hukum universal daripada alam sebagai alat bagi interpretasi ilmiah dan sebagai control, dan bukan sebagai tujuan; karena bukan sesuatu yang tepat atau bukan sebagai ketertiban abadi. Sesungguhnya, science sebagai keseluruhan juga di pakai sebagai alat pula.
Metode operasional dalam penggunaan ide-ide (hipotesa-hipotesa) adalah konsep umum kebudayaan di samping juga konsep semua filsafat pendidikan. Metode ini dapat memberi pengarahan dan cara-cara pendekatan tertentu dalam menafsirkan masalah-masalah kemanusiaan khususnya.
Inteligensi dan metode operasional adalah cirri utama dari epistimologi progressivisme.
5.      Immediate dan mediate experience
Meskipun pengalaman adalah prinsip utama dalam progressivisme, namun pengalaman (empiris, eksperiance) itu baru benar-benar berarti jika ia ada di dalam batas-batas observasi, pertimbangan dan control tertentu. Dengan ini maksudnya ialah di samping yang alamiah, juga yang dalam kondisi tertentu di buat sebagai penyelidikan (laboratorium, experiman). Progressivisme mambedakan antara fireground reality (latar depan realita) dengan background reality (latar belakang realita). Perbedaan ini di tentukan oleh tingkat atau kualitas kesadaran dalam mana pengalaman itu terjadi.
Pelaksanaan proses “tahu” dalam pengalaman manusia terjadi melalui dau macam bentuk pengalaman, yakni immediate-experince dan mediate-experince.
a.       Immediate-experince
Kita menghayati pengalaman ini dalam kesadaran keseimbangan. Misalnya dalam keadaan relax dalam ruang istirahat kita duduk mambaca majalah. Apa yang kita alami saat itu ialah ketenangan, tanpa persoalan apapun, ini disebut kita berada dalam adjustment, kesatuan dan keseimbangan dalam lingkungan. Kita mengalami sesuatu seperti isi-majalah yang kita baca, menghirup udara segar dalam ruang istirahat itu sambil menikmati pemandangan alam yang ada di sekitarnya.tetapi pengalaman di sini terjadi dengan “halus”, sedemikian harmonis antara subyek dengan lingkungannya. Kita hayati sesuatu dengan tenang, tanpa tekanan psikologis, tanpa kehilangan keseimbangan. Subyek atau lingkungan ada dalam kesatuan yang sempurna, sebab tanpa pertentangan apapun antara keduanya. Dewey menyebutkan pengalaman demikian sebagai “under going” of an experience.
b.      Mediate-experince
Misalkan dalam keadaan relax itu terjadi, tiba-tiba da tilpon bordering. Kabar sedih kita terima, bahwa sahabat karib kita kecelakaan kendaraan, luka parah beberapa kilometer dari rumah kita itu. Sekarang kita kehilangan keseimbangan dalam arti psikologis. Kita sedang mempunyai problem yang segera harus di atasi. Yaitu bahwa saya harus segera ke sana, jika mungkin untuk membantu apa yang dapat di lakukan.[9]
D.    Pandangan Axiologi Progressivisme
Progressivisme mengadakan pendekatan masalah nilai-nilai secara empiris berdasarkan pengalaman pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Sebaliknya aliran-aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama.
Progressivisme mempunyai nilai-nilai bahwa nilai itu bersifat instrinsik dan instrumental. Nilai instrinsik ialah yang digambarkan sebagai melekat pada objeknya, atau keadaannya sendiri, dan mempunyai anti bagi dirinya sendiri. Sedangkan nilai instrumrntal ialah nilai yang baru nampak adanya, bila ada hubungannya dengan hal-hal lain.[10]
1.      Approach empiris
Progressivisme mengapproach masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman reil di dalan kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Sebaliknya aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai yang non-empiris seperti nilai-nilai supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama (devine truth yang bersumber dari wahyu Tuhan).
a.       Hubungan antara realita dengan pengetahuan
Niai menurut aliran ini tak terpisahkan daripada realita dan pengetahuan. Sebab nilai-nilai sebenarnya lahir dan keinginan, dorongan, perasaan, kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia yang merupakan kesatuan antara factor-faktor biologi dan social dalam kepribadiannya. Nilai-nilai ialah sesuatu yang ada di dalam kehidupan sebagai realita, dan dapat di mengerti manusia sebagai wujud, pengetahuaan, ide. Sesuatu ide itu benar jika ia mengandung kebaikan; terutama berguna bagi manusia untuk penyesuaian diri dan demi kehidupannya dalam suatu lingkaran tertentu. Karena itu relasi antara realita,pengetahuan dan nilai-nilai adalah sebagai satu mata rantai dalam pengalaman dan kehidupan manusia yang nyata.
b.      Nilai instrumental dan nilai intrinsic
Tiap-tiap nilai yang berguna di dalam kehidupan manusia untuk hidup manusia ialah nilai instrumental. Sesuatu itu bernilai karena dapat mengantarkan manusia kepada satu tujuan. Misalnya, obat atau vitamin adalah bernilai instrumentel, sebab dapat mewujudkan kesehatan badan.
Bagi progressivisme, kedudukan kedua nilai itu, intrinsic dan instrumental analog dengan kedudukan knowledge dan truth dalam teori epistimologinya, kedua-duanya dependent satu sama lain, seperti juga halnya relasi knowledge dan truth.
c.       Nilai social dan nilai individu (social and personal value)
Pembedaan lain dalam hal nilai-nilai ini ialah antara nilai social dan nilai individu. Pada prinsipnya, semua nilai-nilai atau produk daripada suatu kualiatas social, kenyetaan social. Watak social daripada nilai-nilai secara fundamental ialah pada kodrat individu itu sendiri. Bahwa seorang individu baru akan menjadi suatu pribadi (sefl) setelah ia dengan aktif berpartisipasi di dalam masyarakat dimana banyak terhimpun pribadi (selves). Tegasnya sesorang tidaklah dilahirkan sebagai sati pribadi. Individu baru menyadari diri sendiri setelah sadar akan individu-individu lain, kepribadian orang lain.
Pada instansi kedua, barulah nilai-nilai itu bersifat pribadi, personal. Penganut pragmatism ini tidak sependapat dengan ahli-ahli anthropologi yang menyatakan bahwa doktrin tentang baik dan jahat tak lebih daripada tradisi, folkways, kebiasaan-kebiasaan yang menjelma pada individu melalui evolusi masyarakat itu.
Sebab, individu mempunyai potensi intelegensi, sikap rasional, kritis. Potensi ini ialah kekuatan dan kemauan untuk memilih, menerima atau menolak sesuatu yang ada di dalam masyarakat. Individu tidak mewarisi nilai-nilai (baik dan buruk) dari generasi terdahulu, dari zaman silam yang amat berbeda dengan zaman dan kebutuhan hidupnya. Individu-individu yang bebas; membentuk masyarakat tak mungkin ada masyarakat tanpa individu-individu. Karena itu individu yang bebas ini akan memilih nilai-nilai secara bebas pula. Satu-satunya prinsip untuk memilih nilai bagi individu ialah interast individu, minat individu. “ values, as an integral part of experience, are relative, temporal, dynamiv”(2 : 115).
d.      Perkembangan sebagai nilai (Growth as values)
Tiap organisme tumbuh berkembang, baik dalam arti horizontal maupun vertical. Berkembang secara horizontal berarti dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan kebudayaan sekarang. Sedangkan berkembang dalam arti untuk terus meningkatkan kualitas perkembangan itu dengan penyelidikan-penyelidikan yang mendalam dan continue. Tumbuh dan berkembang adalah proses alamiah dan kebudayaan manusia atas usaha sadar dan tidak sadar manusia. Tumbuh dan berkembang adalah realitas dinamis yang pasti terjadi potensi-potensi ilmiah.
Tumbuh dan berkembang adalah proses yang tak akan berakhir selama manusia selama manusia hidup; karena itu growth ini lebih daripada kesempurnaan (perfection) menurut pragmatism.
2.      Approach artistic
Pragmatisme, khususnya Dewey, amat menaruh perhatian pada studi estetika, nilai-nilai artistic. Sebab, artistic adalah suatu nilai yang memperkaya ekspresi manusia. Artistic adalah satu energy pendorong kehidupan bagi umat manusia. Nilai-nilai artistic mamberi isi dan kedalaman bagi pengalaman-pengalaman seseorang.
a.       Nilai estetika
Nilai estetika adalah immediate experience, karena itu ia adalah satu nilai kesenangan dalam pengalaman manusia. Estetika adalah nilai kehidupan yang di nikmati hidup, yang tidak menantang problema. Bagaimana nilai-nilai estetika suatu simphoni, lukisan, taman, dapat di nikmati itu dapat pula menggugah rasa sosia, terutama rasa hormat, kagum dan penghargaan kepada pencipta realita estetika itu.
b.      Ilmu pengetahuan dan seni (science and arts)
Pragmatis menganggap bahwa ilmu dan seni bukanlah dua bidang yang terpisah, melaikan suatu prestasi manusia yang komplementatif. Sebab dalam praktek kehidupan kedua-duanya amat di perlukan manusia.
Bahkan dalam proses penciptaan hasil-hasil seni, bukanlah semata-mata fungsi-fungsi kreatif yang utama, melaikankan juga fungsi-fungsi reflective (berpikir) amat di perlukan.
3.      Democracy as value (demokrasi sebagai nilai)
Perkembangan Negara-negara demokrasi adalah suatu sumber utama bagi tumbuhnya filsafat progressivisme. meskipun di yakini bahwa demokrasi itu masalah politik, tetapi progressivisme menghayati demokrasi tidak dalam makna politik.
Bagi progressivisme, demokrasi ialah suatu pola dan program bagi seluruh scope kehidupan. Demokrasi adalah suatu perwujudan daripada nilai-nilai fundamental, sikap dan praktek-praktek. Demokrasi adalah nilai ideal yang wajib di laksanakan sepenuhnya dalam semua bidang kehidupantermasuk kedalam seni dan keagamaan.
Dari segi ontologism, demokrasi ialah pengalaman dinamis dan interdependensi antara sesame manusia. Demokrasi adalah jalan keluar, kanalisasi bagi dorongan-dorongan yang dalam daripada pribadi,seprti self-respect, martabat, hasrat bersatu, rasa tanggung jawab di dalam kehidupan manusia.
Dari segi epistimologi, demokrasi adalah benih dan buah daripada praktek-prektek yang luas inteligensi. Demokrasi adalah usaha mencari kebenaran, seperti juga proses ilmu pengetahuan dalam mencari kebenaran. Dengan perkataan lain, demokrasi ialah ide-ide, pemikiran-pemikiran yang di laksanakan di dalam pergaulan social. Dalam komunikasi social, maka essensi fenomena social itu ialah demokrasi. Dan demokrasi yang telah melembaga merupakan perwujudan dari identitas social. Secara axiologis, demokrasi terutama merupakan nilai instrumental dari nilai intrinsic. Dalam arti ideal, demokrasi adalah jalan menuju kenahagiaan. Demokrasi adalah nilai individual  sekaligus nilai social.
Brubacher berkesimpulan tertang makna demokrasi meliputi :
a.       Democracy as respect for dignity of the individual;
b.      Democracy as equalitarianism;
c.       Democracy as sharing.[11]
E.     Asas Belajar Menurut Progessivisme
Pandangan progressivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain.disamping itu, menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progressivisme.
Menurut progressivisme, belajar sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah, belajar terjadi di dalam semua kesempatan dan tempat, jadi termasuk didalam masyarakat. Justru proses edukatif harus mampu mengalahkan  pengaruh-pengaruh buruk yang ada di dalam masyarakat dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi kondisi edukatif.[12]
1.      Anak dan lingkungannya
Anak adalah organisme yang mengalami satu proses pengalaman, sebab ia merupakan bagian integral dari lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa, antara hubungan, perasaan pikiran dan benda-benda.
Anak berada di dalam lingkungan yang selalu mengalami proses perubahan, perkembangan. Meskipun anak sebagai bahan integral dari lingkungannya, namun ia tetap mempunyai identitas sendiri yang berbeda dengan makhluk-makhluk alamiah yang lainnya manapun. Sebab, anak memiliki kemampuan inteligensi yang dapat memecahkan problem dalam hidupnya. Dan proses pendidikan terutama di pusatkan untuk latihan dan penyempurnaan inteligensi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah wadah pembinaan anak yang paling efektif, jika sekolah di dasarkan pada prinsip-prinsip yang tepat. Dasar untuk tepatnya pendidikan itu terutama bersumber dari pandangan-pandangan ilmu jiwa khususnya psikologi belajar.
Mengenai hal ini progessivisme berpegang pada eman prinsip yang di sebutnya six generalizations :
(1)   Ilmu jiwa harus secara praktis membimbing proses pendidikan sejalan dengan prinsip-prinsip filsafat pragmatis. Sifat dinamis, perubahan-perubahan alamiah harus di mengerti pula adanya pada kodrat anak : keadaan sensitive, responsive, semangat, hasrat ingin tahu dan dorongan menyelidiki harus di bantu berkembangnya oleh kondisi lingkungan sekolah secara positif.
(2)   Belajar sesungguhnya adalah pengalaman yang wajar. Dalam proses belajar sama dengan proses pemecahan masalah yang mengganggu organisme. Dan dengan prose situ tidak saja gangguan-gangguan itu di akhiri, tetapi juga terbentuklah response baru dalam pola perkembangan pribadi anak. Belajar adalah fungsi hidup organisme, seperti juga gizi makanan adalah satu fungsi hidup manusia.
(3)   Dalam proses belajar, harus di sadari bahwa yang aktif adalah “the whole child”, dan bukan hanya “mind” saja. Seluruh struktur tingkah-laku adalah pula perwujudan dari seluruh aspek kepribadiannya, secara  utuh.
(4)   Lingkungan anak sama fundementalnya dengan kodrat dirinya sendiri. Diri anak adalah bagian dari lingkungannya; keduanya ada dalam antara hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Keduanya saling berpengaruh dalam proses perubahan, perkembangan.
(5)   Fungsi belajar selalu berkembang menurut level dan kompleksitsnya, dan tingkat tertinggi dari fungsi itu adalah inteligensi.
(6)   Progressivisme menolak beberapa konsep kesimpuln-kesimpulan ilmu jiwa tradisional, terutama tentang daya jiwa dan pembawaan. Aliran ini terutama menekankan peranan lingkungan dalam pembinaan pribadi. Teori tingkah laku yang tersimpul dalam asas kausalitas, asas response yang mengikuti stimulus (stimulus-response), akan berkembang lebih efektif hanya melalui latihan. Karena itu latihan yang riel sesuai dengan realita dalam lingkungan berarti memperbaiki tingkah laku.
2.      Living as learning (kehidupan yang riel sebagai proses belajar).
Belajar sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah; belajar terjadi dalam semua kesempatan dan temapat, jadi termasuk dalam masyarakat. Justru proses edukatif harus mampu mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk yang ada di dalam masyarakat dengan jalan menginbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-kondisi edukatif.
Problem-problem di dalam masyarakat (kenakalan pemuda, masalah sex, narkotika dan sebagainya) harus di jadikan materi orientasi dan analisa dalam program sekolah.
3.      Teori belajar aliran ini terutama dapat di ikhtisarkan dalam pokok-pokok berikut sebagai pusat perhatian :
a.       Interest, minat anak.
b.      Effort, usaha berupa self-activity.
c.       Purpose, tujuan yang jelas untuk apa ia belajar, gunanya.
d.      Intelligence, adalah potensi untuk mengerti, memecahkan problem, komunitas, daya cipta.
e.       Habit, yakni kebiasaan yang sudah ada, dan pembinaan pola-pola kebiasaan baru yang lebih efektif.
f.       Growth, pangalaman-pengalaman yang harus mendorong perkembangan pribadi, demikian seterusnya.
g.      Organism, anak adalah satu unity organism, ia belajar dengan seluruh kepribadiannya, baik jiwa maupun badaniah.
h.      Culture, lingkungan alamiah, adalah realita yang dalam batas-batas tertentu dapat di bina manusia. Lingkunga social budaya adalah produk karya dan cipta manusia. Kebudayaan tetap merupakan wujud yang mempunyai antara hubungan dengan perkembangan pribadi. Belajar tak dapat di pisahkan dari realita kebudayaan, cita-cita kebudayaan.[13]
F.     Kurikulum Progressivisme
Menurut progressivisme, kurikulum yang baik adalah seperti fungsi suatu laboraturium. Ia selalu sebagai rentetan kontinu suatu eksperimen, dan semua pelakunya, ialah guru bersama muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmuwan. Kurikulum progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “ Liberal road to culture” . tokoh progessivisme yang terkenal di antaranya adalah William James (1842-1910) dan Jonh Dewey (1856-1952) .[14]
Kurikulum baik ialah seperti fungsi suatu laboratorium. Ia selalu sebagai rentetan continue suatu eksperimen, dan semua pelakunya, ialah guru bersama muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmiahwan. Karena itu perlu di hindarkan kurikulum yang kaku, standart yang mekanis, penyelesaian-penyelesaian trsadisional. Seperti juga metode-metode eksperimental bersifat lentur, eksploratif, progressif, berhasrat dan berinisiatif menciba yang belum di coba, demikian pula sebaiknya meteri kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “liberal road to culture”.
Progressivisme menghendaki bentuk yang bervariasi dan isi kurikulum yang kaya. Aliran ini tetap memerlukan suatu perencanaan pendidikan dan kurikulum, tetapi atas prinsip-prinsip yang dinamis, bukan pola-pola yang statis. Apa yang mereka butuhkan di dalam kurikulum ialah isi mendorong perkembangan pribadi yang meliputi perkembangan minat, berpikir dan kemampuan praktis. Inilah yang di maksud Kilpatrick dengan istilah “emerging curriculum” yang dalam pelaksanaannya memakai metode proyek (project method).
1.      Tipe-tipe struktur kurikulum.
Sejak progressivisme melakukan eksperimen tentang kurikulum, mereka telah menyusun dan membina kembali lima tipe kurikulum, dimana empat tipe pertama sedikit banyak di anggap masih kompromi dengan pola-pola kurikulum tradisional.
a.       Reorganisasi di dalam suatu subyek khusus sebagai langkah pertama mencari pola dan design yang baru.
b.      Korelasi antara dua atau lebih subject-matter, misalnya antara bahasa nasional dengan social-studies.
c.       Pengelompokan dan hubungan integrative dalam satu bidang pengetahuan, misalnya : “pendidikan umum” dalam ilmu pengetahuan dan arts.
d.      “core-curriculum”, suatu kelompok mata pelajaran yang member pengalaman dasar dan sebagai kebutuhan umum yang utama.
e.       “experience-certered curriculum” yakni kurikulum yang mengutamakan pengalaman dengan menekankan pada unit-unit tertentu.
Unit-unit dalam pelaksanaan experience-certered curriculum yang di dasarkan pada kebutuhan dan minat anak di arahkan bagi perkembangan pribadi secara integral terutama pikir, perasaan, motor (gerak dan kerja) dan pengalaman social.
2.      The nature of real problems (kodrat masalah-masalah yang realistis).
Artinya masalah-masalah di dalam kurikulum pertama berdasarkan realita kehidupan yang wajar. Dengan pendekatan terhadap masalah yang wajar dalam kehidupan anak-anak tidak di persiapkan untuk mampu dalam kehidupan yang akan datang. Melaikan telah berpartisipasi dengan situasi kehidupan yang sesungguhnya di mana ia dan sekolah adalah bagian daripada kehidupan yang sebenarnya.
Realita kehidupan yang wajar dengan aspek-aspek persoalannya itulah yang di jadikan thema unit-unit kurikulum. unit-unit dalam kurikulum tipe “berorientasi pada pengalaman” ini di buat sebagai suatu perwujudan kehidupan yang wajar. Sebab, didalam realita kehidupan, persoalan-persoalan yang kita hadapi selalu ada di antara hubungan dan antaraksinya, demikian pula problem-problem yang timbul di dalamnya, harus di ambil sebagaiman adanya di dalam unit-unit ini. Hanya ini yang akan member pengalaman dalam makna “inilah hidup itu sendiri”. Dengan demikian pendidikan tidaklah menyiapakan pribadi anak bagi tujuan yang akan datang, melaikan telah membimbing pengalamannya (perasaan, pikiran dan tindakan) dalam konteks yang realistis.
3.      Child-certered or community-certered schools.
Sebelum isu pendidikan yang amat penting ialah problem yang tersimpul dalam thema ini : apakah sekolah (pendidikan dan isinya) berpusat orientasi pada pribadi anak, ataukah kepada masyarakat (manusia sebagai keseluruhan). Dengan kata lain, apakah sekolah yang baik itu memusatkan perhatiannya pada anak (minat dan pertumbuhan individu), ataukah kepada masalah dan perkembangan yang real di dalam masyarakat di mana sekolah itu menjadi bagian.
a.       Child-certered gunanya sebagai dasar kurikulum dan prinsip pendidikan watak dan proses perkembangan anak. Jadi proses orientasi ialah psikologi anak. Kurikulum di arahkan supaya efektif dalam perkembangan kepribadian anak sebagai satu totalitas. Kurikulum harus mengandung unsure-unsur yang kaya bagi perkembangan prakarsa, perasaan, pikiran-pikiran spontan dan kreatif, ekspresi, sikap social dan sikap kritis.
Konsekuensi asas ini ialah guru harus benar-benar mengenal individualitas anak.
b.      Community-certered, ialah suatu deskripsi dan interprestasi dari hasil eksperimen tahin 1930-an yang memusatkan perhatian, dan memakai masyarakat sebagai satu totalitas medan orientasi pendidikan. Masyarakat yang meliputi baik yang lingkungan alamiah maupun social berfungsi sebagai laboratorium belajar.
Prinsip pandangan ini berasal dari kesimpulan progressivisme : bahwa jika belajar di bina atas kehidupan yang wajar manusia, maka kurikulum seluas mungkin harus bersumber dari kehidupan yang sebenarnya. Dan kurikulum demikian seluruhnya berasal dari lingkungan hidup “living reality”.[15]
G.    Penilaian Kebudayaan atas Progressivisme
Semua aliran filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah interprestasi kebudayaan atas segala prinsip dan aspek pendidikan. Khusunya aliran progressivisme, yang menyusun prinsip-prinsipnya atas empat asas pokok, di mana keempat asas itu merupakan perwujudan kebudayaan : (1) revolusi industry, (2) ilmu pengetahuan modern, (3) perkembangan demokrasi, dan (4) lingkungan hidup. Dan sebenarnya keempat asas ini bersifat interdependensi, dalam perkembangannya saling mempengaruhi.
Ciri utama yang menjadi identitas progressivisme dalam mission filsafat dan pendidikannya tercermin dalam : (1) pendidikan dalam kebudayaan liberal, (2) progressivisme menjadi pelopor pembaharuan ide-ide lama menuju asas-asas baru menyongsong kebudayaan dan zaman baru, (3) progressivisme mempunyai watak peralihan, menuju kebudayaan baru. Sesuai dengan prinsip progresssivisme bahwa secara ontologism segala realita ada dalam proses berubah, berkembang, demikian pula kebudayaan.
Dari segi nilai-nilai, yang melahirkan sikap dan tindakan manusia, maka progressivisme menanamkan prinsip-prinsip; progressivisme percaya bahwa nilai selalu berhubungan antara alam dan inteligensi yang mewujudkan terkristalisasi dalam :
(1)   Selalu ada antaraksi prinsip-prinsip tingkah laku antara nilai-nilai sebagai alat atau sebagai tujuan; antara nilai-nilai individu dan nilai-nilai social.
(2)   Dari segi filsafat seninya,ia menekankan rhythm (irama) ekspresi estetis antara pengalaman-pengalaman tak langsung dengan pengalamn-pengalaman langsung.
(3)   Nilai tertinggi dari demokrasi ialah kedua fungsi; yakni sebagai kritik atas kekurangan-kekurangan kebudayaan kita sekarang; dan juga sebagai norma bagi kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangan dan memperkaya semangat kerjasama bagi potensi-potensi kreatif dalam kehidupan kebudayaan.
Dalam teori dan praktek pendidikan, progressivisme mendorong banyak pemikir dan mempengaruhi kebudayaan dengan system organisasi dan sebagai aliran eksperimental. Progressivisme sungguh-sungguh berorientasi pada pengalaman anak sebagai “the whole child” dan membinanya dengan materi pelajaran yang tepat, serta di dasarkan pada asas teori psikologi belajar melalui pengertian yang operasional tentang minat, usaha, habit, growth, organisme, kebudayaan dan di atas semua itu asas inteligensi.
Progressivisme menghendaki pendidikan yang membina dan berdasarkan minat belajar yang mencakup seluruh pengalaman social anak dan orang dewasa sekaligus menaruh perhatian kepada minat anak secara individual. Aliran ini lebih memusatkan perhatian kepada proses yang continue daripada antaraksi antara pribadi dana masyarakat, di bandingkan ketentuan-ketentuan normative yang sesungguhnya adalah produk antaraksi itu sendiri. [16]


BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian dasar yang menjadi ciri dari aliran ini adalah progres, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Aliran progressivisme memandang bahwa manusia memiliki hak asasi yang bertumpu pada kebebasan mutlak (liberalisme) yang menuju ke arah kebudayaan (liberal road to culture) . aliran ini tidak mengaku suatu kemutlakan kehidupan, sehingga nilai-nilai yang dipengangi bersifat fleksibel terhadap perubahan, tidak rigid, dan tidak terikat pada suatu nilai tertentu, toleran dan terbuka.
Progressivisme mengadakan pendekatan masalah nilai-nilai secara empiris berdasarkan pengalaman pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Sebaliknya aliran-aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai supernatural, nilai-nilai universal, nilai-nilai agama.
Menurut progressivisme, kurikulum yang baik adalah seperti fungsi suatu laboraturium. Ia selalu sebagai rentetan kontinu suatu eksperimen, dan semua pelakunya, ialah guru bersama muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi ilmuwan. Karena itu perlu dihindarkan kurikulum yang kaku, standar yang mekanis, penyelesaian-penyelesaian tradisional. Seperti juga metode-metode eksperimental, eksploratif, progresif, berhasrat dan berinisiatif mencoba yang belum di coba, demikian pula sebaliknya materi kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum progressivisme bergerak dinamis di atas prinsip “ Liberal road to culture” .
Semua aliran filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah interprestasi kebudayaan atas segala prinsip dan aspek pendidikan. Khusunya aliran progressivisme, yang menyusun prinsip-prinsipnya atas empat asas pokok, di mana keempat asas itu merupakan perwujudan kebudayaan : (1) revolusi industry, (2) ilmu pengetahuan modern, (3) perkembangan demokrasi, dan (4) lingkungan hidup. Dan sebenarnya keempat asas ini bersifat interdependensi, dalam perkembangannya saling mempengaruhi. Progressivisme adalah filsafat dan lembaga pendidikan yang mencernimkan liberal way of life. Dengan demikian seperti liberalism sendiri, maka progressivisme sangat berpengaruh dalam interprestasinya tentang kebudayaan modern. Ia berhasil dalam membina sikap kritis terhadap kebudayaan lama untuk kemudian mengadakan reformasi. Ia juga sukses dalam membina program yang rasional dalam membina kebudayaan baru, dan sekaligus untuk menghadapi priode transisi dari kebudayaan lama menuju kebudayaan baru.



DAFTAR PUSTAKA

Amri, Amsal. 2007. Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: PeNA.
Arifin, Muzayyin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Syam, Muhammad Noor. 1986. Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.



[1] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh:PeNA, 2007),hlm. 62
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 231-233
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 21
[4] Ibid, hlm. 22
[5] ibid, hlm. 23
[6] Amsal Amri, hlm. 63
[7] Mohammad Noor Syam, hlm: 233-235
[8] Amsal Amri, hlm. 63
[9] Mohammad Noor Syam, hlm: 235-243
[10] Amsal Amri, hlm. 63-64
[11] Mohammad Noor Syam, hlm: 243-249
[12] Amsal Amri, hlm. 64
[13] Mohammad Noor Syam, hlm: 249-252
[14] Amsal Amri, hlm. 64-65
[15] Mohammad Noor Syam, hal: 252-256
[16] Mohammad Noor Syam, hal: 256-260

Tidak ada komentar:

Posting Komentar